Solo, 15/06/2013. “Untuk menjadi kaya bapak- ibu bisa menjual Indonesia. Caranya bapak ibu mengundang perusahaan asing yang ada di luar negeri untuk masuk ke Indonesia. Bapak ibu katakan kepada perusahaan itu bahwa Indonesia adalah pasar besar dengan 250 juta manusia yang ada di dalamnya, Nanti bapak ibu bisa mendapatkan marketing fee atau bapa- ibu bisa buka franchise nya di Indonesia,”
Pernah mendengar ungkapan atau ajakan seperti kalimat di atas? Itulah salah satu contoh kalimat ajakan untuk menjual Indonesia ke orang asing. Ajakan yang kerap muncul di workshop atau training bisnis tertentu tentang cara cepat menjadi kaya. “Kalimat seperti itu hanya muncul dari orang yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan tak perduli dengan Indonesia,” kata anggota Tim Beli Indonesia Aswandi As’an di depan 102 pengusaha di rumah makan Bakso Kadipolo, Solo, Jawa Tengah, Minggu siang. Kalimat sejenis itu, lanjut Aswandi, hanya lahir dari mereka yang berorientasi keuntungan an sich. Dengan modus yang berbeda, import sapi dan import produk-produk lain ke Indonesia juga di-drive oleh semangat pengejar keuntungan itu.
Bisnis memang berorintasi pada keuntungan. Dan bisnis adalah cara untuk membangun kekayaan. Tetapi tidak semua bisnis dibutuhkan oleh Indonesia terutama jika bisnis itu merusak atau menghancurkan kehidupan rakyat dan bangsa Indonesia. Indonesia juga tidak butuh dengan bisnis yang semata mengejar untung yang tidak memperdulikan cara mendapatkannya. Ada pengusaha yang berhutang kepada negara tanpa berniat untuk membayar. Alih-alih membayar malah lari dan memilih mati di luar negeri, atau pindah ke negara yang enggan membuat perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Ada juga yang main goreng-goreng asset. Aset senilai satu miliar dijadikan jaminan pinjaman 5 miliar lalu dimacetkan dan bank mengambil asset itu sebagai ganti uang pinjaman yang dimacetkan itu. “Kita tidak butuh pengusaha jenis ini. Yang ingin kita bangun adalah pengusaha pejuang yang tidak hanya membangun dirinya tetapi juga membangun bangsanya,” tegas Aswandi.
Kejahatan moneter, menyelundup, mark up dengan memanipulasi angka-angka sama jahatnya dengan gerakan menjual Indonesia itu. Bahkan daya rusaknya jauh lebih dahsyat karena menyangkut kelangsungan kehidupan bangsa dan negara. Sayangnya, kejahatan jenis ini belum menjadi perhatian serius dan tidak dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Sehingga pelakunya banyak yang masih melanggang bebas dan jika tertangkap hanya diganjar hukuman ringan. “Apakah dalam proses peradilannya ada transaksi dan jual beli juga, wallahu a’lam ,“ kata Aswandi yang disambut gerrr para peserta. Yang pasti kisah tentang putusan bebas dan hukuman ringan untuk pelaku kejahatan ekonomi ini kerap kali terdengar. Bahkan kasus yang menyangkut figur-figur tertentu justru banyak yang tidak tersentuh.
Menjual Indonesia ini baru menghebohkan jika ada lelang pulau di internet seperti yang terjadi beberapa waktu lalu. Padahal Orang Bali, Lombok dan mereka yang tinggal di daerah tujuan wisata lain di Indonesia banyak yang kehilangan tanah karena dijual kepada perusahaan asing. Padahal semula dengan mengolah tanah itu dia mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Namun begitu dijual, dia mendapatkan uang banyak dalam sekejap. Dua tahun kemudian dia menjadi orang yang lebih miskin dari sebelumnya tanpa dia tahu kapan dia akan keluar dari kemiskinan itu. Dalam skala lebih besar, modus seperti yang dialami orang Bali dan Lombok itu terjadi juga di negara. Untuk memperoleh uang mudah dan cepat kita lakukan impor berbagai produk yang sesungguhnya barang itu kita punya dan rakyat kita bisa mengerjakannya. Investor asing kita undang masuk ke sektor-sektor yang sesungguhnya terlarang secara bisnis dan kehidupan. Karena di sektor itu banyak rakyat kita yang bergantung hidup dan nafkahnya. Namun kita tutup mata dan hati karena ingin mendapatkan uang mudah dan cepat untuk kepentingan yang sesaat. Lalu kita korbankan orang lain yang sesungguhnya mereka itu saudara kita sendiri dan bagian dari bangsa kita sendiri.
Apakah Indonesia tidak boleh dijual? Boleh! Tapi yang dijual itu produknya. Kita bangun industri sebanyak-banyaknya untuk membuat produk yang akan kita jual ke negara lain. “Yang harus banyak keluar itu produk jadi bukan bahan baku. Sebaliknya yang harus banyak masuk bahan baku bukan barang jadi. Begitu aturan mainnya,” tegas Aswandi. Indonesia terbalik, produk dari luar dibiarkan masuk bebas, produk di dalam susah keluar. Demikian juga bahan baku seperti kayu gelondongan dan rotan dibiarkan keluar sementara bahan baku dari luar dipersulit. Akibatnya kita kerap membeli produk jadi dari bahan baku yang kita kirim dengan harga yang berlipat-lipat. Asset strategis seperti BUMN tidak boleh dijual karena itu bukan hanya alat untuk membangun ekonomi negara tetapi juga untuk menjamin layanan publik terlayani. Demikian juga pasar kita yang besar dengan 250 juta jiwa ini jangan diserahkan ke orang lain tapi harus kita kuasai karena pasar itu jantungnya ekonomi. Menyerahkan jantung kita kepada orang lain sama dengan menyerahkan kehidupan kita kepada orang itu. (2as)
0 komentar:
Posting Komentar